Sabtu, 02 April 2011

Pengendalian Hayati


POTENSI RHIZOBAKTERIA SEBAGAI AGEN BIOFUNGISIDA UNTUK PENGENDALIAN JAMUR FITOPATOGEN Fusarium sp
oleh:
Eka putra

I.     PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman akibat jamur patogen Fusarium sp. di Indonesia pada saat ini masih banyak mengandalkan penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan keseimbangan ekologis dan residu yang  ditinggalkannya dapat bersifat racun dan karsinogenik. Spesies jamur Fusarium sp. merugikan para petani, serangan jamur menyebabkan tanaman mengalami layu patologis yang berakhir dengan kematian.
Beberapa agen pengendali hayati yang mempunyai kemampuan dalam pengendalian patogen melalui tanah, salah satunya adalah bakteri yang hidup di sekitar akar (Rhizobakteria). Bakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan jamur patogen dalam tanah secara alamiah, terdapat beberapa genus bakteri yang berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, yaitu Alcaligenes, Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus, Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas. Rhizobakteria bersimbiosis mutualisme secara tidak langsung dengan tanaman, karena beberapa bakteri dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman atau disebut PGPR (Plant growth-promoting rhizobacteria). Rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas degradasi kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur. Rhizobakteri yang digunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan aman untuk dikonsumsi. Jika agen pengendali biologis ini bias dikembangkan lebih lanjut dalam pengendalian fitopatogen Fusarium sp. Maka otomatis penggunaan fungisida sintetik akan berkurang.
Pembangunan pertanian di indonesia saat ini memasuki masa transisi dari orientasi pertanian dengan pola subsisten kepada pola komersial. Pergeseran tersebut membawa konsekuensi penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen penting dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman, salah satu kendala bagi pembangunan pertanian yang berorientasi ekonomi. Menurut Reintjes et al. (1999), saat ini pembangunan sektor pertanian disiapkan untuk memasuki era agroindustri dan agribisnis terpadu. Oleh karena itu, pengembangan penerapan teknologi berwawasan lingkungan dan pengembangan sumber daya manusia harus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ,antara lain harus dapat memelihara tingkat kapasitas produksi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan harus dapat mengurangi dampak kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Salah satu langkah nyata yang perlu dilakukan antara lain mengamankan produksi pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit (Anisah, 2008). Salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani saat ini antara lain ditemukannya penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang tanaman kentang, pisang, tomat, ubi jalar, strawberry dan bawang daun (Machmud et al., 2002; Balai Penelitian Tanaman Hias, 2004).
Banyak cara pengendalian yang dilakukan namun belum berhasil untuk menekan perkembangan patogen tersebut. Menurut Yusriadi (2004), salah satu alternatif pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan populasi jamur Fusarium ini adalah dengan mengembangkan pengendalian secara hayati. Sejauh ini pemakaian pestisida (fungisida) selalu diikuti dengan pertimbangan ekonomi dan berdampak pada lingkungan. Pasar lebih menyukai produksi pertanian yang bebas bahan kimia, sehingga alternatif pestisida yang aman bagi lingkungan dan konsumen sangatlah diperlukan (Purwantisari, 2008).
Pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak diperlukan. Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan inilah yang akan melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Menghadapi kenyataan tersebut agaknya perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan. Salah satu cara pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dan berpotensi untuk dikembangkan ialah pengendalian hayati menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen biofungisida secara langsung maupun tidak langsung untuk mengontrol serangan spesies pengganggu (Nigam dan Mukerji, 1988).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rhizobakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan fungi patogen dalam tanah secara alamiah. Terdapat beberapa genus bakteri yang mampu berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, antara lain: Alcaligenes, Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus, Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas (Botelho et al., 2006:402; Tilak et al., 2005:137). Menurut Haas and Devago (2005:2), bakteri yang berasosiasi dengan akar tanaman ini dinamakan Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Bakteri ini mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman dan melindungi tanaman dari serangan penyakit. Selain ramah terhadap lingkungan, penggunaan rhizobakteri diharapkan dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap penggunaan fungisida sintetik, menutupi kekurangan suplai bahan aktif fungisida yang selama ini diimpor sehingga dapat menghemat devisa negara dan meningkatkan daya saing ekspor produk pertanian Indonesia.
Jamur Fusarium termasuk jamur kelas Ascomycetes, semula dimasukkan ke dalam kelas Deuteromycetes karena hanya melakukan reproduksi secara aseksual dengan alat reproduksi yang disebut konidia, namun saat ini telah ditemukan fase seksualnya dalam bentuk teleomorph (Leslie and Summerell, 2006). Jamur ini mempunyai tiga alat reproduksi aseksual, yaitu mikrokonidia (terdiri dari satu sel), makrokonidia (dua sampai enam septa) dan klamidospora (merupakan pembengkakan pada hifa) (Webster and Weber, 2007).
Menurut Mehrotra (1976), konidia ini bercabang dan disebut konidiosporum yang merupakan alat perkembangbiakan, tempat penyimpanan massa, sporokodium atau miselium. Konidia berwarna coklat muda dan berdinding tebal, berukuran 8.2 – 6.2 μ, letaknya pada ujung atau di tengah hifa. Familia dari jamur ini adalah Tuberculariaceae yang dicirikan oleh adanya sporokodium. Sporokodium ini membentuk makrokonidia dan mikrokonidia. Bentuk makrokonidium melengkung panjang dengan ujung mengecil dan mempunyai sekat antara 1-10 atau lebih, sedangkan mikrokonidium bentuknya pendek, tidak bersekat atau bersekat satu. Jamur ini dapat bertahan di dalam tanah sebagai saprofit ataudalam bentuk klamidospora. Dalam bentuk klamidospora, fungi ini dapat bertahan paling tidak selama lima tahun di dalam tanah. menghasilkan mikrokonidia bening,silindris atau seperti perahu dan bersekat-sekat (Mehrotra, 1976).
Jamur Fusarium sp. merupakan jamur yang tersebar luas baik pada tanaman maupun dalam tanah. Beberapa spesies dari jamur ini dapat memproduksi mycotoxin dalam biji-bijian yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan jika memasuki rantai makanan . Toksin utama yang diproduksi oleh jamur ini adalah fumonisin dan trichothecenes (Leslie and Summerell, 2006). Jamur Fusarium ini juga dapat menyebabkan penyakit pada tanaman, yang disebut sebagai penyakit layu fusarium. Penyakit layu fusarium adalah penyakit sistemik yang menyerang tanaman mulai dari perakaran sampai titik tumbuh. Tanaman jadi layu dan tumbuh merana.           Infeksi jamur ini dapat terjadi melalui akar tanaman yang sehat, tapi prosesnya lebih lambat dibandingkan dengan adanya luka pada akar. Penyakit layu fusarium ini ditandai dengan daun menguning, daun terpelintir dan pangkal batang membusuk. Asam fusarat yang dihasilkan oleh Fusarium sp. merupakan racun yang larut dalam air. Toksin ini mengganggu permeabilitas membran dan akhirnya mempengaruhi aliran air pada tanaman. Adanya hambatan pergerakan air dalam tubuh tanaman menyebabkan terjadinya layu patologis yang tidak bisa balik (irreversibel) yang berakibat kematian tanaman seperti kasus-kasus penyakit layu pada kapas dan tomat yang disebabkan oleh Fusarium sp. (Yunasfi, 2002).
Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah, tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun. Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa 8 pengendalian hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang (Hasanudin, 2003). Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya : 1. Antagonisme Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya.            Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan. 2. ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
3. Proteksi silang Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Biasanya mekanisme antagonisme dan ketahanan berimbas terjadi secara simultan, sehingga rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur pathogen secara langsung dan tidak langsung (Paul, 2007). Beberapa studi in vitro terkait
mekanisme biofungisida melalui antagonisme telah banyak dilakukan. Menurut Hasan dan Devago (2005), Pseudomonas fluorescens dapat mengeluarkan senyawa antibiotik (antifungal), siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas jamur Fusarium oxysporum. Senyawa siderofor, seperti pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion Fe. Senyawa ini menghelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang. Sementara senyawa antibiotik yang dihasilkan antara lain : phenazine-1-carboxylate, pyoluteorin, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazine-1-carboxyamide, pyocyanine, hidrogen cyanide dan viscosinamide (Haas, 2005; Adesina, 2007). Seperti yang telah disebutkan di awal menurut Tilak et al. (2005) dan Botelho et al.(2006) , terdapat beberapa rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki aktivitas antifungal. Hasil-hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai antifungal melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium dan Bacillus pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur Fusarium sp (El-Hamshary and Khattab, 2008:24; Huang et al., 2004:82). Bakteri dari genus Bacillus dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptide yang berperan sebagai antibiotik dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin, Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam 10 sianida, fengycin dan bacilysocin (Katz and Demain, 1977:450; Tamehiro et al., 2002:315; Schaechter, 2004:127; Berkeley et al., 2002:227).
Sintesis antibiotik pada Bacillus dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan kondisi lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004:128). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel jamur, seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase dan protease (Kunst and Rapoport, 1995:2403; Schaechter, 2004:127). Dinding sel Fusarium sp tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan 6% lemak (Webster and Weber, 2007:5). Kandungan kitin pada dinding sel jamur Fusarium sp ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.
Memasuki pasar global, persyaratan produk- produk pertanian ramah lingkungan akan menjadi primadona. Persyaratan kualitas produk pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya dengan pemakaian pestisida sintetik. Pemanfaatan agen hayati sebagai biopestisida pengganti pestisida sintetik belum banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan agen hayati sebagai pengendali fungi fitopatogen telah dilakukan di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah misalnya, melakukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian khususnya kentang dengan pemanfaatan agen hayati (biopestisida) sebagai pengganti pestisida sintetik untuk mengedalikan fungi Phytopthora infestans. Jamur ini dapat menyababkan Penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang merupakan penyakit penting dan endemik di sentra-sentra pertanaman kentang di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Banjarnegara, dan Magelang).
Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengembangkan prototipe produk beberapa biofungisida yang ramah lingkungan, yaitu biofungisida trichodermin dan gliocladin yang bahan bakunya terdiri dari bahan aktif dari makhluk hidup berupa konidia beberapa jenis jamur isolate lokal (indigenous). Beberapa jenis jamur isolat lokal yang telah berhasil dikemas dan diaplikasikan sebagai bahan baku biofungisida tersebut adalah Trichoderma harzianum, Gliocladium sp dan Aspergillus niger (Purwantisari, 2008). Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Hias yang berada di Cianjur-Jawa Barat tahun 2004, rhizobakteria yang telah dikembangkan sebagai biofungisida di Jawa Barat khususnya antara lain: Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa, Bacillus thuringiensis, Bacillus pantotkenticus , Burkholderia cepacia dan Pseudomonas fluorescens. Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium sp. di Indonesia sendiri masih belum optimal. Penggunaan rhizobakteria yang dilakukan baru sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan rhizobakteria 12 sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam mengendalikan fitopatogen.
Pengendalian fungi fitopatogen menggunakan agen pengendali hayati baik menggunakan jamur maupun rhizobakteria yang selama ini telah dilakukan menurut Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2006), antara lain melalui :
1. Pemberian Kultur Cair
2. Pemberian zat aktif biofungisida nabati
3. Pencampuran agen dalam proses pengomposan
Produk yang telah dikomersialkan antara lain: Bio-FOB, Bio-TRIBA, Mitol 20 EC dan rgano-TRIBA. Namun produk ini masih terbatas pada jamur Trichoderma, liocladium, Aspergillus niger dan bakteri dari genus Bacillus, Burkholderia dan seudomonas kelompok fluorescens. Padahal masih banyak rhizobakteria lainnya ang belum dikembangkan secara optimal.

Penggunaan rhizobakteria sebagai alternatif biofungisida pengendali jamur Fusarium sp erupakan salah satu langkah baik untuk mensiasati penggunaan fungisida sintetik pada saat ini. Penggunaan rhizobakteria sebagai agen hayati iofungisida memiliki beberapa keunggulan, diantarannya : Keunggulan biofungisida nabati (rhizobakteria) dengan fungisida kimia intetik adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen di dalam tanah, ernyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ni terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia ktif rhizobakteria dalam memacu hormon pertumbuhan tanaman. hizobakteria dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan ensekresikan hormon pertumbuhan seperti IAA (auksin) dan sitokinin (Paul, 007). Lebih ramah lingkungan, karena agen biofungisida yang digunakan erupakan jasad hidup yang berasal dari tanah. Saat diaplikasikan, agen iofungisida dikembalikan ke dalam habitatnya yaitu tanah, sehingga tidak enimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Dengan demikian biaya ingkungan bisa dikatakan tidak ada, berbeda dengan fungisida kimiawi yang emberikan efek residu yang membahayakan lingkungan dan mahluk hidup ainnya. Dibandingkan dengan penggunaan fungisida kimia sintetik, aplikasi iofungisida menggunakan rhizobakteria dipandang jauh lebih murah dan enguntungkan terutama dalam upaya untuk pemeliharaan perkebunan. Bersifat non-patogen dan tidak membahayakan manusia dan lingkungan.14 elain kelebihan di atas, aplikasi rhizobakteria sebagai biofungisida juga emiliki beberapa kekurangan yakni diperlukan adanya analisis resiko rhizobakteriayang gunakan sebelum dipasarkan sebagai agen biofungisida.
Beberapa agen hayatiberpeluangdapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atautanaman) atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkanpenyakit pada manusia, hewan, dan tanaman.Kajian khusus untukmengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untukmencegah hal-hal yang tidakdiinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati.Menurut Supriadi(2006), untukmemastikan keamanan suau agen biofungisida perludiketahuiinformasi fisik, kimiadan biologis agen, data toksisitas akut dan residuyang dihasilkan. Contoh analisisresiko penggunaan agen hayati untukpengendalianjamur patogen bisa dilihat pada lampiran.
Iklim tropis yang dimiliki wilayah Indonesia yang tidak banyak berbedasepanjang tahun menjadikan negara kita satu diantara negara yang menyimpankeragaman hayati yang sangat berharga dan perlu dikelola secara benar dan efektif.Sayangnya kesadaran akan hal ini justru muncul dari banyak pakar keragaman hayatiluar negeri yang begitu prihatin terhadap pengelolaan keragaman hayati di Indonesia.Salah satu yang perlu menjadi perhatian kita adalah potensi mikroorganisme yang15berguna yang akan kita manfaatkan secara maksimal didalam sistem PHT(Pengendallian Hama Terpadu).Berdasarkan keadaan ini maka eksplorasi dan skrining agen hayati akandiversitas mikrobia yang kita punya (indigenous) penting dilakukan dalam rangkamenemukan sumberdaya genetik baru yang berpotensi sebagai agen pengendalihayati penyakit tanaman yang ramah lingkungan. Potensi rhizobakteria sebagaisumber daya alam hayati (SDAH) kita sangat besar dan belum banyak digarap.SDAH Indonesia dipastikan mempunyai daya saing tinggi karena sebagianbesar SDAH, termasuk rhizobakteria indigenous, tidak dimiliki bangsa lain(endemik). Hal ini menjadi modal dasar bagi Bangsa kita untuk menjadi produsendan pengembang biofungisida berbahan baku agen hayati. Implementasi enggunaanrhizobakteria sebagai agen pengendali jamur patogen pada tanaman sebaiknya dikembangkan lebih lanjut. Kebijakan ini akan menjamin keberlangsungan pembangunan nasional di sektor pertanian, menghemat devisa negara dan mampu meningkatkan daya saing ekspor produk pertanian Indonesia.
III. KESIMPULAN

Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada saat inimutlakdiperlukan sebagai upaya menghadapi tantangan permintaan pasar akanproduk pertanian yang terbebas dari fungisida sintetik. Ancaman polutan fungisidasintetik yang merugikan lingkungan hidup, mau tidak mau memaksa umat manusiauntuk memikirkan alternatif penggunaan fungisida nabati, yakni melalui pemanfaatanpotensi rhizobakteria sebagai agen pengendali hayati jamur Fusarium sp penyebabpenyakit layu patologis pada tanaman. Beberapa rhizobakteria mampu menghambatpertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas degradasi kitinsebagai komponen utama penyusun dinding sel jamur. Rhizobakteria yangdigunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan amanuntuk dikonsumsi. Selain itu rhizobakteria mampu berasosiasi positif terhadap pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon pertumbuhan. Jika agen pengendali biologis ini bisa dikembangkan lebih lanjut dalam pengendalian fitopatogen Fusarium sp. maka otomatis penggunaan fungisida sintetik akan berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Adesina, V.M.Felicia.(2007).Characterization of bacterial antagonists of Rhizoctonia
solani and arium oxysporum from six European soils and their potentialapplication for biological control. Dissertation.Germany: Universität Carolo-Wilhelmina.

Anisah, S.E.(2008). Uji Antagonisme Pseudomonas spp. Terhadap Jamur Fusarium sp. Asal Bawang Daun (Allium fistulosum L.) Secara In Vitro. Skripsi Sarjana
Biologi pada Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung: tidak     diterbitkan.

Balai Penelitian Tanaman Hias.(2004).Mikroba Antagonis Sebagai Agen Hayati
Pengendali Penyakit Tanaman. BPTH: Cianjur.

El-Hamshary and Khattab,A.(2008). Evaluation of Antimicrobial Activity of Bacillus subtilis and Bacillus cereus and Their Fusants Against Fusarium solani”. Research Journal of Cell and Molecular Biology. 2,(2),24-29.

Emmert, E.A.B. et al. (2004).”Genetics of Zwittermicin A Production by Bacillus cereus”. Applied and Environmental Microbiology.70,(1), 104–113.

Haas, D. and Devago, G.(2005).”Biologycal Control Of Soil-Borne Pathogens by Fluorescens Pseudomonads”. Nature Reviews Microbiology.1,1-13.

Hasanudin. (2003). Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu: http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf [Diakses tanggal 23 Juni 2009]

Huang, C.J. et al.(2004).” Identification of an Antifungal Chitinase from a Potential Biocontrol Bacillus cereus Agent 28-9”. Journal of Biochemistry and Molecular Biology.38,(1),82-88.25

Yunasfi. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan Penyakit yang disebabkan oleh jamur. Dalam:  http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-yunasfi.pdf [Diakses tanggal 02 Juli 2009]

Yusriadi. (2004). Pengendalian Biologi (Biocontrol) Penyakit Tular tanah Kacang tanah dengan Pseudomonas (Ralstonia) fluorescens BSK8. Jurnal Kalimantan Scientiae, 64 (12) : 78-84. (Online). Tersedia : http://www.hptunlam. com/Makalahupaya-yusriadi.pdf [Diakses tanggal 02 Juli 2009]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar