Sabtu, 02 April 2011

Pengendalian Hayati


POTENSI RHIZOBAKTERIA SEBAGAI AGEN BIOFUNGISIDA UNTUK PENGENDALIAN JAMUR FITOPATOGEN Fusarium sp
oleh:
Eka putra

I.     PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Teknologi pertanian, khususnya dalam pengendalian penyakit tanaman akibat jamur patogen Fusarium sp. di Indonesia pada saat ini masih banyak mengandalkan penggunaan fungisida sintetik. Penggunaan fungisida yang tidak bijaksana dapat menimbulkan masalah pencemaran lingkungan, gangguan keseimbangan ekologis dan residu yang  ditinggalkannya dapat bersifat racun dan karsinogenik. Spesies jamur Fusarium sp. merugikan para petani, serangan jamur menyebabkan tanaman mengalami layu patologis yang berakhir dengan kematian.
Beberapa agen pengendali hayati yang mempunyai kemampuan dalam pengendalian patogen melalui tanah, salah satunya adalah bakteri yang hidup di sekitar akar (Rhizobakteria). Bakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan jamur patogen dalam tanah secara alamiah, terdapat beberapa genus bakteri yang berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, yaitu Alcaligenes, Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus, Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas. Rhizobakteria bersimbiosis mutualisme secara tidak langsung dengan tanaman, karena beberapa bakteri dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman atau disebut PGPR (Plant growth-promoting rhizobacteria). Rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas degradasi kitin yang merupakan komponen utama penyusun dinding sel jamur. Rhizobakteri yang digunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan aman untuk dikonsumsi. Jika agen pengendali biologis ini bias dikembangkan lebih lanjut dalam pengendalian fitopatogen Fusarium sp. Maka otomatis penggunaan fungisida sintetik akan berkurang.
Pembangunan pertanian di indonesia saat ini memasuki masa transisi dari orientasi pertanian dengan pola subsisten kepada pola komersial. Pergeseran tersebut membawa konsekuensi penggunaan pestisida sebagai salah satu komponen penting dalam mengatasi organisme pengganggu tanaman, salah satu kendala bagi pembangunan pertanian yang berorientasi ekonomi. Menurut Reintjes et al. (1999), saat ini pembangunan sektor pertanian disiapkan untuk memasuki era agroindustri dan agribisnis terpadu. Oleh karena itu, pengembangan penerapan teknologi berwawasan lingkungan dan pengembangan sumber daya manusia harus mendapat perhatian dan penekanan yang cukup kuat sebagai landasan pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan ,antara lain harus dapat memelihara tingkat kapasitas produksi sumber daya alam yang berwawasan lingkungan dan harus dapat mengurangi dampak kegiatan pertanian yang dapat menimbulkan pencemaran serta penurunan kualitas lingkungan hidup. Salah satu langkah nyata yang perlu dilakukan antara lain mengamankan produksi pertanian dari gangguan organisme penyebab penyakit (Anisah, 2008). Salah satu kendala yang dihadapi oleh para petani saat ini antara lain ditemukannya penyakit layu fusarium yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. Jamur ini banyak menyerang tanaman kentang, pisang, tomat, ubi jalar, strawberry dan bawang daun (Machmud et al., 2002; Balai Penelitian Tanaman Hias, 2004).
Banyak cara pengendalian yang dilakukan namun belum berhasil untuk menekan perkembangan patogen tersebut. Menurut Yusriadi (2004), salah satu alternatif pengendalian yang dapat dilakukan untuk menekan populasi jamur Fusarium ini adalah dengan mengembangkan pengendalian secara hayati. Sejauh ini pemakaian pestisida (fungisida) selalu diikuti dengan pertimbangan ekonomi dan berdampak pada lingkungan. Pasar lebih menyukai produksi pertanian yang bebas bahan kimia, sehingga alternatif pestisida yang aman bagi lingkungan dan konsumen sangatlah diperlukan (Purwantisari, 2008).
Pengendalian penyakit tanaman menggunakan bahan-bahan kimia kini mulai dihindari karena berdampak negatif bagi lingkungan, oleh karena itu penggunaan fungisida nabati (biofungisida) mutlak diperlukan. Kebijakan global mengenai pembatasan penggunaan bahan aktif kimiawi pada proses produksi pertanian pada gilirannya akan sangat membebani pertanian Indonesia. Hal ini disebabkan oleh tingginya tingkat ketergantungan petani terhadap pestisida kimia. Ketergantungan inilah yang akan melemahkan produk pertanian asal Indonesia dan daya saingnya di pasar global. Menghadapi kenyataan tersebut agaknya perlu segera diupayakan pengurangan penggunaan fungisida kimiawi dan mengalihkannya pada jenis fungisida yang aman bagi lingkungan. Salah satu cara pengendalian penyakit yang ramah lingkungan dan berpotensi untuk dikembangkan ialah pengendalian hayati menggunakan rhizobakteri (bakteri yang hidup di sekitar akar tanaman) sebagai agen biofungisida secara langsung maupun tidak langsung untuk mengontrol serangan spesies pengganggu (Nigam dan Mukerji, 1988).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Rhizobakteri dilaporkan bisa menekan pertumbuhan fungi patogen dalam tanah secara alamiah. Terdapat beberapa genus bakteri yang mampu berasosiasi dengan tanaman sebagai penghambat pertumbuhan jamur, antara lain: Alcaligenes, Acinetobacter, Enterobacter, Erwinia, Rhizobium, Flavobacterium, Agrobacterium, Bacillus, Burkholderia, Serratia, Streptomyces, Azospirillum, Acetobacer, Herbaspirillum dan Pseudomonas (Botelho et al., 2006:402; Tilak et al., 2005:137). Menurut Haas and Devago (2005:2), bakteri yang berasosiasi dengan akar tanaman ini dinamakan Plant growth-promoting rhizobacteria (PGPR). Bakteri ini mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman dan melindungi tanaman dari serangan penyakit. Selain ramah terhadap lingkungan, penggunaan rhizobakteri diharapkan dapat mengurangi ketergantungan petani terhadap penggunaan fungisida sintetik, menutupi kekurangan suplai bahan aktif fungisida yang selama ini diimpor sehingga dapat menghemat devisa negara dan meningkatkan daya saing ekspor produk pertanian Indonesia.
Jamur Fusarium termasuk jamur kelas Ascomycetes, semula dimasukkan ke dalam kelas Deuteromycetes karena hanya melakukan reproduksi secara aseksual dengan alat reproduksi yang disebut konidia, namun saat ini telah ditemukan fase seksualnya dalam bentuk teleomorph (Leslie and Summerell, 2006). Jamur ini mempunyai tiga alat reproduksi aseksual, yaitu mikrokonidia (terdiri dari satu sel), makrokonidia (dua sampai enam septa) dan klamidospora (merupakan pembengkakan pada hifa) (Webster and Weber, 2007).
Menurut Mehrotra (1976), konidia ini bercabang dan disebut konidiosporum yang merupakan alat perkembangbiakan, tempat penyimpanan massa, sporokodium atau miselium. Konidia berwarna coklat muda dan berdinding tebal, berukuran 8.2 – 6.2 μ, letaknya pada ujung atau di tengah hifa. Familia dari jamur ini adalah Tuberculariaceae yang dicirikan oleh adanya sporokodium. Sporokodium ini membentuk makrokonidia dan mikrokonidia. Bentuk makrokonidium melengkung panjang dengan ujung mengecil dan mempunyai sekat antara 1-10 atau lebih, sedangkan mikrokonidium bentuknya pendek, tidak bersekat atau bersekat satu. Jamur ini dapat bertahan di dalam tanah sebagai saprofit ataudalam bentuk klamidospora. Dalam bentuk klamidospora, fungi ini dapat bertahan paling tidak selama lima tahun di dalam tanah. menghasilkan mikrokonidia bening,silindris atau seperti perahu dan bersekat-sekat (Mehrotra, 1976).
Jamur Fusarium sp. merupakan jamur yang tersebar luas baik pada tanaman maupun dalam tanah. Beberapa spesies dari jamur ini dapat memproduksi mycotoxin dalam biji-bijian yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia dan hewan jika memasuki rantai makanan . Toksin utama yang diproduksi oleh jamur ini adalah fumonisin dan trichothecenes (Leslie and Summerell, 2006). Jamur Fusarium ini juga dapat menyebabkan penyakit pada tanaman, yang disebut sebagai penyakit layu fusarium. Penyakit layu fusarium adalah penyakit sistemik yang menyerang tanaman mulai dari perakaran sampai titik tumbuh. Tanaman jadi layu dan tumbuh merana.           Infeksi jamur ini dapat terjadi melalui akar tanaman yang sehat, tapi prosesnya lebih lambat dibandingkan dengan adanya luka pada akar. Penyakit layu fusarium ini ditandai dengan daun menguning, daun terpelintir dan pangkal batang membusuk. Asam fusarat yang dihasilkan oleh Fusarium sp. merupakan racun yang larut dalam air. Toksin ini mengganggu permeabilitas membran dan akhirnya mempengaruhi aliran air pada tanaman. Adanya hambatan pergerakan air dalam tubuh tanaman menyebabkan terjadinya layu patologis yang tidak bisa balik (irreversibel) yang berakibat kematian tanaman seperti kasus-kasus penyakit layu pada kapas dan tomat yang disebabkan oleh Fusarium sp. (Yunasfi, 2002).
Pengendalian hayati khususnya pada penyakit tumbuhan dengan menggunakan mikroorganisme telah dimulai sejak lebih dari 70 tahun yang lalu, tepatnya pada tahun 1920 sampai dengan 1930 ketika pertama kali diperkenalkan antibiotik yang dihasilkan mikroorganisme tanah, tetapi beberapa percobaan belum berhasil sampai penelitian mengenai pengendalian hayati terhenti selama kurang lebih 20 tahun. Perhatian pakar penyakit tumbuhan terhadap metoda pengendalian hayati bangkit kembali ketika diadakan simposium internasional pengendalian hayati di Barkley pada tahun 1963. Sekarang ini sudah menjadi satu pengetahuan bahwa 8 pengendalian hayati akan memainkan peranan penting dalam pertanian pada masa akan datang (Hasanudin, 2003). Menurut Istikorini (2002), mekanisme pengendalian hayati bisa terjadi melalui berbagai mekanisme, diantaranya : 1. Antagonisme Mikroorganisme antagonis adalah mikroorganisme yang mempunyai pengaruh merugikan terhadap mikroorganisme lain yang tumbuh dan berasosiasi dengannya.            Hal ini biasanya terjadi ketika terjadi persaingan antar mikroorganisme dalam hal ruang hidup, nutrisi dan cekaman faktor lingkungan. 2. ISR (Induced Systemic Resistance) atau Ketahanan terimbas Ketahanan terimbas adalah ketahanan yang berkembang setelah tanaman diinokulasi lebih awal dengan elisitor biotik (mikroorganisme avirulen, non patogenik, saprofit) dan elisitor abiotik (asam salisilat, asam 2-kloroetil fosfonat).
3. Proteksi silang Tanaman yang diinokulasi dengan strain virus yang lemah hanya sedikit menderita kerusakan, tetapi akan terlindung dari infeksi strain yang kuat. Strain yang dilemahkan antara lain dapat dibuat dengan pemanasan in vivo, pendinginan in vivo dan dengan asam nitrit. Biasanya mekanisme antagonisme dan ketahanan berimbas terjadi secara simultan, sehingga rhizobakteri mampu menghambat pertumbuhan jamur pathogen secara langsung dan tidak langsung (Paul, 2007). Beberapa studi in vitro terkait
mekanisme biofungisida melalui antagonisme telah banyak dilakukan. Menurut Hasan dan Devago (2005), Pseudomonas fluorescens dapat mengeluarkan senyawa antibiotik (antifungal), siderofor, dan metabolit sekunder lainnya yang sifatnya dapat menghambat aktivitas jamur Fusarium oxysporum. Senyawa siderofor, seperti pyoverdin atau pseudobacin diproduksi pada kondisi lingkungan tumbuh yang miskin ion Fe. Senyawa ini menghelat ion Fe sehingga tidak tersedia bagi mikroorganisme lain. Ion Fe sangat diperlukan oleh spora F. oxysporum untuk berkecambah. Dengan tidak tersedianya ion Fe maka infeksi F. oxysporum ke tanaman berkurang. Sementara senyawa antibiotik yang dihasilkan antara lain : phenazine-1-carboxylate, pyoluteorin, pyrrolnitrin, 2,4-diacetylphloroglucinol, phenazine-1-carboxyamide, pyocyanine, hidrogen cyanide dan viscosinamide (Haas, 2005; Adesina, 2007). Seperti yang telah disebutkan di awal menurut Tilak et al. (2005) dan Botelho et al.(2006) , terdapat beberapa rhizobakteria yang secara in vitro terbukti memiliki aktivitas antifungal. Hasil-hasil penelitian terkait potensi rhizobakteria tersebut sebagai antifungal melaporkan bahwa beberapa bakteri dari genus Bacillus, seperti Bacillus subtilis, Bacillus cereus, Bacillus licheniformis, Bacillus megaterium dan Bacillus pumilus dapat berperan sebagai agen biokontrol untuk mengendalikan pertumbuhan jamur Fusarium sp (El-Hamshary and Khattab, 2008:24; Huang et al., 2004:82). Bakteri dari genus Bacillus dilaporkan dapat menghasilkan beberapa peptide yang berperan sebagai antibiotik dan antifungi, seperti: subtilin, subtilosin, mycobacillin, subsporin, ituirin, Cerexin, surfactin, bacillomycin, bacilysin, asam 10 sianida, fengycin dan bacilysocin (Katz and Demain, 1977:450; Tamehiro et al., 2002:315; Schaechter, 2004:127; Berkeley et al., 2002:227).
Sintesis antibiotik pada Bacillus dikontrol oleh beberapa gen yang ekspresinya dikontrol sesuai dengan kondisi lingkungan tempat bakteri hidup (Schaechter, 2004:128). Bakteri ini mampu menghasilkan enzim degradatif makromolekul yang bisa menghancurkan dinding sel jamur, seperti protease (intraseluler) dan beberapa enzim yang disekresikan pada medium seperti levansukrase, _-glukanase, _-amilase, xilanase, kitinase dan protease (Kunst and Rapoport, 1995:2403; Schaechter, 2004:127). Dinding sel Fusarium sp tersusun atas 39% kitin, 29% glukan, 7% protein dan 6% lemak (Webster and Weber, 2007:5). Kandungan kitin pada dinding sel jamur Fusarium sp ini akan memicu pembentukan enzim degradatif oleh Bacillus.
Memasuki pasar global, persyaratan produk- produk pertanian ramah lingkungan akan menjadi primadona. Persyaratan kualitas produk pertanian akan menjadi lebih ketat kaitannya dengan pemakaian pestisida sintetik. Pemanfaatan agen hayati sebagai biopestisida pengganti pestisida sintetik belum banyak dikembangkan di Indonesia. Pengembangan agen hayati sebagai pengendali fungi fitopatogen telah dilakukan di beberapa provinsi, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Provinsi Jawa Tengah misalnya, melakukan upaya peningkatan kuantitas dan kualitas produk pertanian khususnya kentang dengan pemanfaatan agen hayati (biopestisida) sebagai pengganti pestisida sintetik untuk mengedalikan fungi Phytopthora infestans. Jamur ini dapat menyababkan Penyakit busuk daun dan umbi tanaman kentang merupakan penyakit penting dan endemik di sentra-sentra pertanaman kentang di Provinsi Jawa Tengah (Kabupaten Wonosobo, Temanggung, Banjarnegara, dan Magelang).
Balai Perlindungan Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi Jawa Tengah telah berhasil mengembangkan prototipe produk beberapa biofungisida yang ramah lingkungan, yaitu biofungisida trichodermin dan gliocladin yang bahan bakunya terdiri dari bahan aktif dari makhluk hidup berupa konidia beberapa jenis jamur isolate lokal (indigenous). Beberapa jenis jamur isolat lokal yang telah berhasil dikemas dan diaplikasikan sebagai bahan baku biofungisida tersebut adalah Trichoderma harzianum, Gliocladium sp dan Aspergillus niger (Purwantisari, 2008). Menurut data dari Balai Penelitian Tanaman Hias yang berada di Cianjur-Jawa Barat tahun 2004, rhizobakteria yang telah dikembangkan sebagai biofungisida di Jawa Barat khususnya antara lain: Bacillus subtilis, Bacillus polymyxa, Bacillus thuringiensis, Bacillus pantotkenticus , Burkholderia cepacia dan Pseudomonas fluorescens. Pengembangan rhizobakteria sebagai agen antagonis penghambat pertumbuhan fitopatogen Fusarium sp. di Indonesia sendiri masih belum optimal. Penggunaan rhizobakteria yang dilakukan baru sebatas tingkat daerah, belum sampai skala nasional. Hal ini sangat disayangkan, mengingat penggunaan rhizobakteria 12 sebagai biofungisida dari hasil penelitian yang telah dilakukan terbukti efektif dalam mengendalikan fitopatogen.
Pengendalian fungi fitopatogen menggunakan agen pengendali hayati baik menggunakan jamur maupun rhizobakteria yang selama ini telah dilakukan menurut Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (2006), antara lain melalui :
1. Pemberian Kultur Cair
2. Pemberian zat aktif biofungisida nabati
3. Pencampuran agen dalam proses pengomposan
Produk yang telah dikomersialkan antara lain: Bio-FOB, Bio-TRIBA, Mitol 20 EC dan rgano-TRIBA. Namun produk ini masih terbatas pada jamur Trichoderma, liocladium, Aspergillus niger dan bakteri dari genus Bacillus, Burkholderia dan seudomonas kelompok fluorescens. Padahal masih banyak rhizobakteria lainnya ang belum dikembangkan secara optimal.

Penggunaan rhizobakteria sebagai alternatif biofungisida pengendali jamur Fusarium sp erupakan salah satu langkah baik untuk mensiasati penggunaan fungisida sintetik pada saat ini. Penggunaan rhizobakteria sebagai agen hayati iofungisida memiliki beberapa keunggulan, diantarannya : Keunggulan biofungisida nabati (rhizobakteria) dengan fungisida kimia intetik adalah selain mampu mengendalikan jamur patogen di dalam tanah, ernyata juga dapat mendorong adanya fase revitalisasi tanaman. Revitalisasi ni terjadi karena adanya mekanisme interaksi antara tanaman dan agensia ktif rhizobakteria dalam memacu hormon pertumbuhan tanaman. hizobakteria dilaporkan mampu menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan ensekresikan hormon pertumbuhan seperti IAA (auksin) dan sitokinin (Paul, 007). Lebih ramah lingkungan, karena agen biofungisida yang digunakan erupakan jasad hidup yang berasal dari tanah. Saat diaplikasikan, agen iofungisida dikembalikan ke dalam habitatnya yaitu tanah, sehingga tidak enimbulkan dampak negatif pada lingkungan. Dengan demikian biaya ingkungan bisa dikatakan tidak ada, berbeda dengan fungisida kimiawi yang emberikan efek residu yang membahayakan lingkungan dan mahluk hidup ainnya. Dibandingkan dengan penggunaan fungisida kimia sintetik, aplikasi iofungisida menggunakan rhizobakteria dipandang jauh lebih murah dan enguntungkan terutama dalam upaya untuk pemeliharaan perkebunan. Bersifat non-patogen dan tidak membahayakan manusia dan lingkungan.14 elain kelebihan di atas, aplikasi rhizobakteria sebagai biofungisida juga emiliki beberapa kekurangan yakni diperlukan adanya analisis resiko rhizobakteriayang gunakan sebelum dipasarkan sebagai agen biofungisida.
Beberapa agen hayatiberpeluangdapat menyebabkan kerusakan pada lingkungan (manusia, hewan, atautanaman) atau mempunyai hubungan yang erat dengan patogen yang menyebabkanpenyakit pada manusia, hewan, dan tanaman.Kajian khusus untukmengelaborasi peluang tersebut perlu dilakukan untukmencegah hal-hal yang tidakdiinginkan akibat penggunaan suatu agens hayati.Menurut Supriadi(2006), untukmemastikan keamanan suau agen biofungisida perludiketahuiinformasi fisik, kimiadan biologis agen, data toksisitas akut dan residuyang dihasilkan. Contoh analisisresiko penggunaan agen hayati untukpengendalianjamur patogen bisa dilihat pada lampiran.
Iklim tropis yang dimiliki wilayah Indonesia yang tidak banyak berbedasepanjang tahun menjadikan negara kita satu diantara negara yang menyimpankeragaman hayati yang sangat berharga dan perlu dikelola secara benar dan efektif.Sayangnya kesadaran akan hal ini justru muncul dari banyak pakar keragaman hayatiluar negeri yang begitu prihatin terhadap pengelolaan keragaman hayati di Indonesia.Salah satu yang perlu menjadi perhatian kita adalah potensi mikroorganisme yang15berguna yang akan kita manfaatkan secara maksimal didalam sistem PHT(Pengendallian Hama Terpadu).Berdasarkan keadaan ini maka eksplorasi dan skrining agen hayati akandiversitas mikrobia yang kita punya (indigenous) penting dilakukan dalam rangkamenemukan sumberdaya genetik baru yang berpotensi sebagai agen pengendalihayati penyakit tanaman yang ramah lingkungan. Potensi rhizobakteria sebagaisumber daya alam hayati (SDAH) kita sangat besar dan belum banyak digarap.SDAH Indonesia dipastikan mempunyai daya saing tinggi karena sebagianbesar SDAH, termasuk rhizobakteria indigenous, tidak dimiliki bangsa lain(endemik). Hal ini menjadi modal dasar bagi Bangsa kita untuk menjadi produsendan pengembang biofungisida berbahan baku agen hayati. Implementasi enggunaanrhizobakteria sebagai agen pengendali jamur patogen pada tanaman sebaiknya dikembangkan lebih lanjut. Kebijakan ini akan menjamin keberlangsungan pembangunan nasional di sektor pertanian, menghemat devisa negara dan mampu meningkatkan daya saing ekspor produk pertanian Indonesia.
III. KESIMPULAN

Pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan pada saat inimutlakdiperlukan sebagai upaya menghadapi tantangan permintaan pasar akanproduk pertanian yang terbebas dari fungisida sintetik. Ancaman polutan fungisidasintetik yang merugikan lingkungan hidup, mau tidak mau memaksa umat manusiauntuk memikirkan alternatif penggunaan fungisida nabati, yakni melalui pemanfaatanpotensi rhizobakteria sebagai agen pengendali hayati jamur Fusarium sp penyebabpenyakit layu patologis pada tanaman. Beberapa rhizobakteria mampu menghambatpertumbuhan jamur melalui sintesis senyawa antifungi dan aktivitas degradasi kitinsebagai komponen utama penyusun dinding sel jamur. Rhizobakteria yangdigunakan bersifat non patogen pada manusia, sehingga produk pertanian akan amanuntuk dikonsumsi. Selain itu rhizobakteria mampu berasosiasi positif terhadap pertumbuhan tanaman dengan menghasilkan hormon pertumbuhan. Jika agen pengendali biologis ini bisa dikembangkan lebih lanjut dalam pengendalian fitopatogen Fusarium sp. maka otomatis penggunaan fungisida sintetik akan berkurang.

DAFTAR PUSTAKA

Adesina, V.M.Felicia.(2007).Characterization of bacterial antagonists of Rhizoctonia
solani and arium oxysporum from six European soils and their potentialapplication for biological control. Dissertation.Germany: Universität Carolo-Wilhelmina.

Anisah, S.E.(2008). Uji Antagonisme Pseudomonas spp. Terhadap Jamur Fusarium sp. Asal Bawang Daun (Allium fistulosum L.) Secara In Vitro. Skripsi Sarjana
Biologi pada Jurusan Pendidikan Biologi FPMIPA UPI Bandung: tidak     diterbitkan.

Balai Penelitian Tanaman Hias.(2004).Mikroba Antagonis Sebagai Agen Hayati
Pengendali Penyakit Tanaman. BPTH: Cianjur.

El-Hamshary and Khattab,A.(2008). Evaluation of Antimicrobial Activity of Bacillus subtilis and Bacillus cereus and Their Fusants Against Fusarium solani”. Research Journal of Cell and Molecular Biology. 2,(2),24-29.

Emmert, E.A.B. et al. (2004).”Genetics of Zwittermicin A Production by Bacillus cereus”. Applied and Environmental Microbiology.70,(1), 104–113.

Haas, D. and Devago, G.(2005).”Biologycal Control Of Soil-Borne Pathogens by Fluorescens Pseudomonads”. Nature Reviews Microbiology.1,1-13.

Hasanudin. (2003). Peningkatan Peranan Mikroorganisme dalam Sistem Pengendalian Penyakit Tumbuhan Secara Terpadu: http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-hasanuddin.pdf [Diakses tanggal 23 Juni 2009]

Huang, C.J. et al.(2004).” Identification of an Antifungal Chitinase from a Potential Biocontrol Bacillus cereus Agent 28-9”. Journal of Biochemistry and Molecular Biology.38,(1),82-88.25

Yunasfi. (2002). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit dan Penyakit yang disebabkan oleh jamur. Dalam:  http://library.usu.ac.id/download/fp/fp-yunasfi.pdf [Diakses tanggal 02 Juli 2009]

Yusriadi. (2004). Pengendalian Biologi (Biocontrol) Penyakit Tular tanah Kacang tanah dengan Pseudomonas (Ralstonia) fluorescens BSK8. Jurnal Kalimantan Scientiae, 64 (12) : 78-84. (Online). Tersedia : http://www.hptunlam. com/Makalahupaya-yusriadi.pdf [Diakses tanggal 02 Juli 2009]

Jumat, 01 April 2011

Dasar-dasar Ilmu Tanah


pH dapat didefinisikan sebagai kemasaman atau kebasaan relatif dari suatu bahan. Skala pH mencakup dari nilai 0 (nol) sampai 14. pH dikatakan netral apabila memiliki nilai 7, asam apabila dibawah 7, dan basa apabila nilai diatas 7 pH dapat dipengaruhi oleh dekomposisi bahan organik, bahan induk, pengandapan, vegetasi alami, kedalaman tanah, dan penggenangan.Telah ditandai bahwa pH tertentu cenderung dikaitkan dengan suatu kumpulan bagian kondisi tanah. Tanah dengan pH 8 dan diatasnya biasanya didominasi oleh hidrolisa karbonat dan mereka terutama dikembangkan dari bahan induk yang berkapur. Pelapukan dan pencucian berlangsung minimal. hidrolisis karbonat dan untuk mengurangi perluasan hidrolisa basa dapat ditukar, mengendalikan pH pada beberapa Entisol muda dan Inceptisol, tanah dengan regim kelembaban tanah ridik, ridisol dan beberapa vertisol, dimana kandungan liat yang menggembung yang tinggi menghambat pemindahan basa dalam karbonat melalui pencucian.

Tanah yang terlalu masam dapat dinaikkan pH nya dengan menambahkan kapur ke dalam tanah, sedang tanah yang terlalu alkalis dapat diturunkan pH nya dengan penambahan belerang Walaupun pH tanah bukan merupakan sifat morfologi tanah, tetapi pengukuran di lapang sering dilakukan dengan cara sederhana. Pengukuran pH tanah dapat memberi keterangan tentang hal-hal sebagai berikut, yaitu kebutuhan kapur, respon tanah, dan proses kimia yang mungkin berlangsung dalam proses pembentukan tanah yang pada umumnya berhubungan dengan reaksi tanah yang menyatakan keadaan unsur basa dalam tanah. Tanah asam banyak mengandung ion H+ yang dapat ditukar. Sedangkan, tanah alkali kaya akan unsur-unsur basa yang dapat ditukar. Ukuran pH tanah hanya merupakan ukuran intensitas keasaman tanah dan bukan kapasitas jumlah unsur .

Terdapat dua jenis reaksi tanah atau kemasaman tanah, yakni kernasaman (reaksi tanah) aktif dan potensial. Reaksi tanah aktif ialah yang diukurnya konsentrasi hidrogen yang terdapat bebas dalam larutan tanah. Reaksi tanah inilah yang diukur pada pemakaiannya sehari hari. Reaksi tanah potensial ialah banyaknya kadar hidrogen dapat tukar baik yang terjerap oleh kompleks koloid tanah maupun yang terdapat dalam larutan.


Apakah Hama Itu?

PEMAHAMAN TENTANG HAMA : BATASAN DAN ARTI

    Kapan suatu herbivora dapat disebut hama? Pendefinisian hama merupakan pendefinisian yang bersifat "antroposentrik", berpusat pada kebutuhan manusia. Pengetahuan tentang dasar-dasar biologi menunjukkan bahwa herbivora, jasad pemakan tumbuhan, merupakan suatu kumpulan trofi yang memang bertugas mengatur populasi tumbuhan (atau secara metabolis, herbivora adalah jasad yang hanya mampu memanfaatkan energi yang telah diolah, atau jasad heterotrof). Herbivora ini disebut hama atau jasad pengganggu (OPT, Organisme Pengganggu Tanaman) karena memakan tumbuhan yang diusahakan baik secara ekonomis maupun subsisten, oleh manusia.
     Pengertian terakhir inilah yang membedakan herbivora dengan hama. Karena didefinisikan melalui kebutuhan manusia, maka seharusnya kedudukannya tidak dianggap sebagai pengganggu ("nuisance"), melainkan resiko ("risk"), karena akan selalu dijumpai selama manusia menyelenggarakan usaha pertanian. Pertanian, terutama yang mengutamakan penanaman satu jenis (univarietas, monokultur) memang mengandung resiko didatangi herbivora, karena :
  1. Monokultur pada prinsipnya bertentangan dengan keanekaragaman hayati
  2. Keberadaan tumbuhan/tanaman dalam jumlah banyak pada suatu hamparan pasti akan menarik herbivora
  3. Sebagai suatu ekosistem binaan, ekosistem pertanian mencari keseimbangan homeostasis dengan membentuk piramda makanan khusus dalam ekosistem ybs.
     Kenyataan di atas menyebabkan perlunya strategi atau taktik khusus menghadapi hama, dengan tetap mengingat bahwa tujuan yang terutama bukanlah memusnahkan jenis-jenis hama yang hadir, tetapi menjaga keseimbangan ekologi sehingga interaksi antar komponen lingkungan dalam agroekosistem mampu menghasilkan kestabilan kondisi interna. Oleh karena itu filosofi pengendalian hama saat ini bukan lagi bertujuan membersihkan atau memusnahkan jasad "pengganggu", melainkan menyelenggarakan usaha pertanian yang harmonis dengan kehidupan ekologis lingkungannya, tanpa harus mengalami kerugian ekonomi.
     Kehadiran jasad herbivora dengan demikian dihadapi berdasar pertimbangan ekologi, biologi dan ekonomi. Hubungan jasad herbivora menuju ke kerugian ekonomi secara lateral adalah sebagai berikut:
individu  ®  spesies  ®  populasi  ®  serangan  ®® kerusakan ® kerugian
Hubungan di atas menunjukkan bahwa jasad herbivora yang terdiri atas individu akan berkumpul membentuk populasi dan bersama-sama melakukan "serangan" (dilihat dari sisi jasad herbivora) sehingga mengakibatkan "kerusakan" (dilihat dari sisi tumbuhan) dan menimbulkan "kerugian ekonomi" (dilihat dari sisi kepentingan penanam/manusia)
     Hubungan tersebut kemudian juga menekankan pentingnya "jumlah anggota populasi" sebagai tolok ukur kerugian (atau kemungkinan kerugian) yang terjadi. Dari segi ini, maka jumlah anggota populasi merupakan tolok ukur arti penting bahaya hama bila dilihat dari :
  • Mudah atau tidaknya jumlah anggota populasi meningkat. Populasi serangga hama pada umumnya menjadi penting karena kemampuan peningkatan populasi dengan cepat menuju jumlah tinggi
  • Kemampuan merusak individu jasad. Seekor gajah meskipun hanya satu akan menimbulkan kerusakan yang lebih besar dibanding dengan seekor wereng batang padi.
  • Kedudukan/peran jasad pengganggu dalam hubungannya dengan pengganggu yang lain. Kutu afid yang menjadi vektor meski jumlahnya hanya sedikit harus segera diwaspadai karena memiliki potensi merusak yang besar
Dilihat dari sisi tumbuhannya, kerusakan yang terjadi juga dapat menjadi penting jika:

  • Bagian tanaman yang dirusak memiliki arti ekonomi penting. Ulat yang menyerang daun tembakau atau daun kubis merupakan pengganggu yang penting dibanding dengan ulat yang menyerang daun padi atau daun kelapa, karena nilai ekonomi kubis dan tembakau terdapat pada daun. Dengan demikian hama buah kakao, hama biji kopi, hama batang tebu dan seterusnya merupakan hama penting untuk masing-masing komoditas tersebut.
  • Kerusakan tidak hanya berakibat menurunnya kuantitas tetapi juga menurunkan kualitas. Hama pascapanen yang tidak hanya menurunkan berat bahan simpanan tetapi juga mengotori produk jelas lebih merugikan dibanding yang hanya mengurangi bobot produk. Hama-hama hortikultura yang merusak kualitas menjadi amat penting meski tidak mengurangi berat atau volume produk.
  • Kemampuan toleransi atau resistensi tumbuhan terhadap jasad herbivora.  Tumbuhan yang lebih cepat pulih, atau tidak mudah rusak karena serangan jasad pengganggu menyebabkan jasad herbivora yang memakannya kurang atau bahkan tidak diperhatikan sebagai penyebab kerugian.
  • Tanaman/tumbuhan yang menghasilkan produk bermanfaat justru karena serangan hama malahan diharapkan, agar tanaman diserang jasad pengganggu. Kehadiran ulat kipat (Cricula trifenestrata) pada tanaman kedondong atau alpukat misalnya, seringkali malah diharapkan oleh penanamnya. Demikian juga kehadiran kutu yang mengundang semut rangrang (Oecophylla smaradigna), acapkali dibiarkan saja karena larva semut memiliki nilai ekonomi sebagai pakan burung.
     Selanjutnya, kerugian ekonomi yang timbul juga masih akan dilihat dari nilai ekonomi produk yang dihasilkan tanaman. Tanaman dengan nilai ekonomi tinggi akan dilindungi dari serangan hama dengan lebih intensif daripada tanaman yang nilainya rendah. Kerugian ekonomi dengan demikian didefinisikan berdasar kepada sifat-sifat jasad pengganggu, sifat-sifat tanaman maupun sitindak atau interaksi antara keduanya beserta lingkungan sekitar (biologi dan ekologi); dan sifat sosio-ekonomik tanaman maupun usaha taninya bagi si penanam.
    Pemahaman ekologi menyebabkan kedudukan habitat jasad pengganggu perlu diperhatikan. Selama ini barangkali jasad pengganggu hanya dikenal pada lingkungan pertanian. Namun sesungguhnya ekosistem di luar pertanian pun juga tidak lepas dari serangan jasad pengganggu. Wilayah perkotaan yang berkembang dengan membina pertamanan, paru-paru kota, menghijaukan tepi jalan maupun median (pertengahan) jalan, kompleks pemukiman yang mengutamakan kehijauan dan kerindangan, padang dan lapangan olah raga; semuanya merupakan ekosistem binaan di luar pertanian yang tak lepas dari serangan jasad pengganggu. Sayang perhatian terhadap hama-hama urban semacam ini di negeri kita masih belum berkembang dengan baik.
Hama dan Komoditasnya : Pengantar
     Pada akhirnya pembicaraan mengenai hama akan sampai kepada hubungannya secara langsung terhadap jenis tanaman yang diserangnya, atau komoditas yang menderita kerusakan dan kerugian karena gangguan hama. Pengelompokan hama pada masing-masing komoditas ditekankan kepada hubungan ekonominya, sehingga terdapat hama penting (major pests), hama kurang penting (minor pests), hama kadang-kadang (occasional pests) dan hama migran (migrant pests). Untuk penggolongan hama dalam suatu komoditas yang lebih jelas dapat dilihat pada Untung (1993).
Penggolongan hama dapat dilakukan pula berdasar kelompok komoditasnya. Penggolongan ini mengelompokkan hama menjadi
  1. Hama Tanaman Pangan
  2. Hama Tanaman Hortikultura
  3. Hama Tanaman Perkebunan
  4. Hama Hutan, di luar lingkup)
  5. Hama Urban/Perkotaan (taman dan lapangan)
  6. Hama Pascapanen
  7. Hama Ternak dan Perikanan, di luar lingkup pembicaraan)
     Meskipun kadang menjadi kurang praktis (karena secara budidaya antara kelompok komoditas mungkin terdapat salingtindih dalam teknik pengelolaannya), namun yang menjadi penting adalah pemahaman mengenai sistem tempat hama berada, sehingga hubungan pengelolaan hama dengan faktor produksi atau faktor pengelolaan lain dapat lebih mudah dipergunakan untuk mengatasi permasalahan.
     Empat langkah yang dipergunakan mengatasi permasalahan hama (terutama serangga) adalah (1) identifikasi jasad pengganggu, (2) mengukur kuantitas pengaruh jasad pengganggu terhadap tanaman, (3) mempertimbangkan apakah pengelolaan diperlukan, dan (4) menerapkan taktik pengelolaan hama yang tepat. Jika yang diamati adalah hama sebagai individu, maka tekanannya adalah pada identifikasinya, namun dalam menghadapi permasalahan hama maka wawasan harus diperluas sampai menjangkau kemungkinan pengelolaan dan kendala yang muncul untuk jasad dan komoditas yang berbeda.
     Pengelompokan komoditas biasanya didasarkan pada luas areal atau nilai produksi, tetapi seperti yang terlihat di atas pengelompokan juga dapat didasarkan pada strategi praktis menghadapi jasad pengganggunya. Memang harus diusahakan agar penentuan jasad pengganggu yang paling penting dilakukan secara obyektif (bukan karena lebih banyak dikenal, mudah dihadapi, terdapat cara pengelolaan yang mudah dll.). Pengelompokan seperti yang disampaikan dalam komoditas mungkin juga harus diperhatikan sungguh-sungguh. Hama yang selalu ada dalam jumlah besar dan merugikan memang penting, tetapi boleh jadi terdapat hama kadang-kadang yang tidak kalah penting artinya pada saat-saat tertentu. Arti penting jasad pengganggu dapat bervariasi mengikuti wilayah geografis/ekologis tertentu atau waktu/musim tertentu.
     Salah satu hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa meskipun pengelolaan hama dapat ditinjau sebagai suatu masalah tersendiri, namun semua konsep pengelolaan hama diselenggarakan dalam konteks sistem produksi. Dalam pertanian, sistem produksi tersebut berbasis pada suatu komoditas tunggal. Jasad pengganggu yang berada pada kondisi/sistem yang berbeda menghendaki cara penanganan yang berbeda pula.
     Selanjutnya perlu diingat bahwa komoditas yang memiliki arti penting, pastilah telah memiliki catatan yang cukup lengkap mengenai berbagai jenis jasad pengganggu yang menyerangnya. Persoalan kita adalah bagaimana memperoleh informasi tersebut secara cepat dan benar, sehingga kita perlu mengetahui instansi/dinas/satgas atau laboratorium mana yang memiliki informasi jenis jasad yang kita hadapi pada tanaman/komoditas tertentu tersebut. Terdapat Balai Penelitian, Dinas Pertanian dan Perkebunan, Laboratorium Lapangan sampai ke Perguruan Tinggi yang menyediakan berbagai gambar, kunci identifikasi, contoh/sampel dan berbagai keterangan mengenai berbagai jenis jasad penganggu. Sumber informasi semacam ini harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya.  Selain itu, untuk kepentingan pemahaman mata kuliah ini, praktikum telah diusahakan agar dapat memperkenalkan mahasiswa dengan situasi lapangan yang sesungguhnya. Hama-hama tanaman pangan/hortikultura, tanaman perkebunan, hama-hama urban dan pascapanen telah diberikan sebagai obyek kajian praktikum pada mata kuliah ini. Selanjutnya untuk lebih memahami gejala kerusakan, jenis OPT, bentuk, ukuran, dan penampilan fisik lainnya, mata kuliah Klinik Hama dan Penyakit akan sangat berguna untuk mengenal hal-hal tersebut lebih jauh dan lebih rinci.
     Pemaparan yang lebih komprehensif jasad demi jasad akan diberikan melalui mata kuliah Hama dan Penyakit Tanaman Pangan, Hortikultura, Perkebunan dan Pascapanen.
Hama Tanaman Pangan. Dalam istilah bahasa Inggris, digunakan frasa "Agronomic Pests", yang cakupannya lebih luas dari pemenuhan kebutuhan pangan. Di Indonesia, tekanannya adalah pengadaan pangan, sehingga pengganggu proses inilah yang terpenting, jadi istilahnya "Hama Tanaman Pangan". Tanaman pangan yang dipenting­kan adalah penghasil bahan makan pokok, yang di bumi ini hampir 80% dipenuhi oleh bijian serealia (anggota familia Poaceae atau Graminae : beras, gandum, jagung, shorgum, millet, jali dll. ), selain juga dipenuhi oleh umbian atau akar (Convolvulaceae : ubi jalar, Dioscoreaceae : ubi ungu, gadhung, gembolo, gembili; Canna­ceae : talas, garut; Euphorbiaceae : ketela pohon; Solanaceae : kentang), tepung batang (Arecaceae atau Palmae : aren, sagu), dan buah (Moraceae : sukun, Musaceae : pisang). Terlihat bahwa kebanyakan tanaman pangan yang ada merupakan sumber karbohidrat, sehingga ketertarikan jasad pengganggu hama dapat diperhitungkan melalui sifat ini. Jenis tanaman pangan yang lain ada yang merupakan sumber protein dan minyak, misalnya kedelai dan kacang-kacangan. Pola jenis hamanya menjadi berbeda dengan kelompok pertama.
     Namun salah satu ciri yang cukup jelas adalah bahwa kebanya­kan tanaman pangan merupakan tanaman semusim (annual, biennial). Dengan demikian jenis tanaman ini kebanyakan akan dibongkar sesudah menghasilkan, sehingga perkembangan jasad herbivora yang mengikutinya akan menyesuaikan diri dengan kondisi ini. Jasad pengganggu yang menyerangnya umumnya berumur lebih pendek daripada daur tanamannya, atau kalaupun berumur lebih panjang, maka perlu tersedia pakan pengganti sehingga tidak kehabisan makanan. Pada kenyataannya, penyesuaian diri banyak jenis jasad pengganggu telah demikian baik sehingga terdapat hama yang menyerang pada masa yang amat pendek saja, misalnya walang sangit.
     Perkembangan penyesuaian yang terjadi antara tanaman semusim dengan jasad pengganggunya telah berlangsung demikian lama, sehingga lingkungan pertanaman merupakan suatu ekosistem tersen­diri dengan ciri tertentu. Julukan "agroekosistem" mengacu kepada proses yang telah berjalan lama, yang menyatukan sitindak antara hama--tanaman--jasad lain dan komponen abiotik yang ada di da­lamnya. Komponen abiotik ini sedikit banyak juga berada di bawah pengaruh manusia : tanah yang dipetak-petak dan dikendalikan kesuburannya, air yang diatur alirannya. Sedang komponen biotik yang diatur dengan cermat umumnya hanya tanamannya, sementara komponen biotik lainnya lalu menyesuaikan diri dengan irama tersebut. Pendekatan pengaturan untuk komponen biotik yang lain ini acapkali jauh dari cermat : diusir, dibunuh, dianggap kompo­nen yang "tak berperan", sehingga perlakuan terhadap mereka lebih menuju upaya pemusnahan untuk mengunggulkan satu komponen biotik saja, yaitu tanaman.
     Upaya pendekatan pengaturan yang semacam ini menyebabkan kondisi "berat sebelah" dalam agroekosistem. Oleh karena itu pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah mempertimbangkan sistem pertanaman secara komprehensif, secara holistik, atau menerapkan suatu sistem Pengelolaan Hama Terpadu. Di negeri kita, tanaman pangan yang memiliki posisi politis yang strategis tidak dapat hanya dikelola dengan pendekatan teknis peningkatan produk­si saja,melainkan juga secara lengkap mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan pertanaman baik secara teknis maupun non-teknis. Ini dituangkan dalam bentuk prinsip-prinsip PHT, pemantauan terhadap berbagai kondisi ekosis­tem, baik pertanaman (ekologi, biologi) maupun sosial-ekonomi.
     Jadi pertimbangan komoditas pangan sebagai dasar strategi pengelolaan hamanya, sebagaimana halnya strategi untuk komoditas-komoditas lainnya, mengacu pada :
  1. Sifat komoditasnya, baik sifat agronomi, ekologi maupun ekono­minya
  2. Kondisi lingkungan pertanamannya
  3. Pemahaman dan ketersediaan teknologi pengelolaannya.
Hama Tanaman Perkebunan. Pada komoditas perkebunan, nilai ekonomi merupakan pertimbangan yang amat penting karena memang komoditas perkebunan umumnya ditanam untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Sifat berikutnya yang penting adalah jenis tanaman perkebunan yang kebanyakan perennial, dan diusahakan pada hamparan yang amat luas secara monokultur dengan bentuk agroekosistem yang memiliki keanekaragaman agak lebih banyak daripada tanaman pangan. Sifat ketiga, berhubungan dengan usaha taninya. Banyak perkebunan yang lebih merupakan usaha besar dibanding perkebunan rakyat, sehingga model pengelolaannya memang mengutamakan efisiensi ekonomi. Tabel berikut menunjukkan kondisi pada beberapa komoditas perkebunan :
Tabel : Rata-rata Luas dan Produksi Beberapa Komoditas Perkebunan
        di Beberapa Provinsi Terpilih, 1993 - 1996
__________________________________________________________________

                                                Luas(Ha)           Produksi(ton)     Produktivitas (t/Ha)

[1][1]Kakao, Sum Ut[1][1]
Perkebunan Rakyat                     20955                 8219               0,422
Perkebunan Besar                       30884               21406               0,693     (164%)
[1][1]Teh, Jawa Barat [1][1]     
Perkebunan Rakyat                     54958,35           23479,34           0,711
Perkebunan Besar                       50630,91           87487,97           1,921     (270%)
[1][1]Kopi, Jawa Timur[1][1]
Perkebunan Rakyat                     44255,33           15200,67           0,453
[1][1]Kapas, Sul Sel[1][1]
Perkebunan Rakyat                     25429,00             5075,00           0,419
[1][1]Lada, Lampung[1][1]
Perkebunan Rakyat                     45118,20           23929,80           0,530
Dari : Berbagai sumber
Tabel di atas menunjukkan bahwa meski kebanyakan luas areal perkebunan rakyat cukup besar, namun produktivitasnya masih rendah. Tetapi lebih dari itu, produksi perkebunan besar yang lebih tinggi daripada perkebunan rakyat itu pun ternyata masih ada di bawah potensi produksi yang sesungguhnya, dan di bawah rata-rata produksi global. Ini berarti gangguan produksi masih amat berperan, dan salah satunya disebabkan oleh masalah hama.
     Penanganan masalah hama pada bidang perkebunan memang masih belum mendasarkan diri pada konsep PHT. Pada saat ini (1997-1999) sedang dilakukan studi dasar ekonomi sosial dan persiapan sosial penerapan PHT pada lima komoditas perkebunan, yang diharapkan nantinya akan segera diikuti dengan pelatihan-pelatihan petani menggunakan mekanisme SLPHT. Penanganan semacam ini juga masih diarahkan pada perkebunan rakyat, karena jenis perkebunan inilah yang menghendaki bimbingan secara intensif dari para ahli dan petugas yang berwenang. Perkebunan besar diharapkan memahami keuntungan penerapan PHT bukan dari bimbingan yang umumnya harus sedikit paternalistik, melainkan dari kesadaran pengelola perke­bunannya, dengan pendekatan manajemen yang benar, didasari oleh pengetahuan teknis yang cukup, baik tentang hal perlindungan tanaman maupun hal-hal lain yang berkaitan erat dengan masalah penyelenggaraan produksi (ekologi, budidaya, pengolahan, pemasar­an dll).
     Sifat komoditas perkebunan yang pada umumnya merupakan tanaman tahunan menyebabkan watak budidayanya menjadi berbeda, demikian juga lingkungan dan ekosistemnya. Tanaman tahunan me­mungkinkan pemapanan musuh alami karena keberadaannya yang lebih lama/panjang dibandingkan tanaman semusim. Oleh karena itu pende­katan pengendalian hayati mungkin akan lebih memadai bagi suatu usaha perkebunan daripada semata-mata menggantungkan diri pada penggunaan bahan kimia pestisida. Dengan demikian dasar-dasar pengetahuan biologi tanaman, hama, dan musuh alaminya harus dipahami benar untuk dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya. Permasa­lahannya, acapkali justru perkebunan besar melakukan pendekatan paling mudah dalam melakukan perlindungan tanaman, yaitu penyem­protan dan aplikasi pestisida secara rutin.
Hama Tanaman Hortikultura. Tanaman hortikultura meliputi sayuran, buahan dan tanaman hias. Seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka jenis tanaman hortikultura yang ketiga pun saat ini telah semakin meningkat peminatnya. Dari ketiga jenis terse­but, maka tanaman buahan dan sayuran merupakan jenis yang mudah rusak ("perishable") dan harus dikonsumsi segera. Kenyataan ini menyebabkan pengelolaan hama tidak hanya penting pada saat di pertanaman saja, melainkan juga ketika produk telah dipanen dan menunggu konsumen. Penyelamatan pada produk pascapanen sendiri berkeuntungan ganda : menyelamatkannya dari serangan jasad peng­ganggu, dan meningkatkan umur tunggu ("shelf-life") produk. Usaha ini dikenal dengan "commodity treatment", penanganan komoditas. Ini berlaku untuk produk hortikultura tanpa kecuali, juga pada tanaman buahan yang berupa pohon/tanaman keras.
     Usaha pengelolaan/pengendalian jasad pengganggu pada saat usaha tani hortikultura berlangsung di lapangan merupakan bentuk penerapan program PHT seperti pada tanaman pangan dan palawija. SLPHT yang pernah diterapkan antara lain adalah pada bawang merah, kubis dan kentang. Sebaliknya, usaha penanganan komoditas masih belum banyak diterapkan, bahkan belum banyak yang tahu arti penting perlakuan semacam ini. Usaha perlakuan komoditas semula juga mengandalkan perlakuan khemis dengan berbagai bahan fumigan, seperti misalnya CH3Br, CH3I, DDVP dan lain-lain. Saat ini karena pemahaman akan bahaya bahan residu dan sejenisnya, digunakan cara-cara mekanis (pembungkusan dengan kertas kue, seperti mis­alnya pada pir/persik), cara fisis (dengan pelapisan lilin, pengaliran udara atau air panas, proses beku-kering atau "freeze-drying"), atau pun melalui cara pengemasan/pengolahan produk langsung menjadi siapan/preparasi yang lebih awet/tahan lama. Penggunaan bahan pengawet yang lebih alami seperti misalnya produk nabati juga dapat dipergunakan dalam usaha perlakuan komoditas.
     Penanganan produk hortikultura bungaan/tanaman hias mungkin bisa menjadi agak berbeda dengan tanaman hortikultura yang lain karena sifat produknya yang tidak dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan. Oleh karenanya penggunaan bahan kimia buatan agak sedikit lebih "longgar" dibanding jika yang diperlakukan adalah produk hortikultura sayuran dan buahan. Yang perlu dijaga pada akhirnya bukan semata-mata kehilangan kuantitas, tetapi lebih lagi adalah kehilangan kualitas, atau yang sering disebut sebagai "aesthetical damage". Sebaliknya memang terdapat gangguan jasad yang justru meningkatkan kualitas produk hortikultura bungaan (florikultura) karena memunculkan pola warna yang lebih eksotis atau berbeda dengan yang umumnya ada.